Selasa, 14 September 2010

ETIKA DAN PERTIMBANGAN I WAYAN SADRA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI

ETIKA DAN PERTIMBANGAN I WAYAN SADRA
DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI
Oleh:
Bambang Sunarto



A. Pengantar
Dalam dunia penciptaan karya seni, etika seni adalah sarana orientasi bagi usaha seniman untuk menjawab pertanyaan dalam berkarya. Pertanyaan yang harus dijawab adalah pertanyaaan yang bersifat fundamental, yaitu bagaimana seorang seniman harus berkarya? Jawabannya bukan uraian mengenai kebenaran moral yang berkaitan dengan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, dan patokan-patokan bagaimana seniman bertindak dalam penciptaan karya. Bukan pula uraian mengenai aturan ini itu yang memberi konotasi petunjuk bagaimana agar seseorang menjadi seniman yang baik. Tetapi, etika yang dimaksud di sini adalah uraian fenomena epistemologis sebagai orientasi berkarya, yang terpusat pada masalah penggunaan (1) sarana, (2) tatacara penciptaan, dan (3) syarat syahnya pilihan keindahan artistik yang ditorehkan seniman di dalam karyanya. Bukankah etika adalah ilmu tentang orietasi?
Etika seni membantu komposer atau seniman pada umumnya mencari orientasi dalam berkarya. Tujuannya adalah agar seniman tidak berkarya dengan cara ikut-ikutan terhadap seniman lain. Tetapi, mengupayakan agar seniman mengerti sendiri mengapa ia menentukan sikapnya, begini atau begitu, terkait dengan karya seni yang diciptakannya. Etika seni membantu seniman agar lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan karyanya yang mereka garap dan disajikan di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan manusia pada umumnya.
Etika seni bukan ajaran moral yang terkait dengan penggunaan atau pengelolaan medium sebagai (1) sarana dan (2) tatacara penciptaan, serta bukan (3) ajaran moral yang berupa nilai-nilai yang menjadi objek garapan dan isi dari ekspresi karya seni. Etika seni bukan batasan sosial atau batasan kultural yang sumber dasarnya adalah ajaran-ajaran pada tradisi atau adat istiadat yang berkembang pada masyarakat, agama, dan atau ideologi tertentu. Etika seni adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang penggunaan atau pengelolaan medium sebagai (1) sarana dan (2) tatacara penciptaan, serta (3) ajaran moral yang berupa nilai-nilai yang hendak menjadi objek garapan dan isi dari ekspresi karya seni.
Etika seni diperlukan dalam pengembangan kredo kesenimanan. Intinya, etika seni adalah pemikiran sistematis tentang nilai-nilai mengenai pemilihan sarana, tatacara, dan isi karya dalam penciptaan seni. Ada banyak contoh karya penciptaan seni yang dapat digunakan sebagai model untuk telaah etika sebagai perspektif kajian seni. Dalam artikel ini, dicontohkan model paradigma penciptaan yang dilakukan oleh I Wayan Sadra. Sadra adalah komponis kontemporer berbasis gamelan. Karya-karyanya telah dikenal mendunia. Berkat karyanya, ia mendapatkan penghargaan internasional di Amerika Serikat yaitu “Horizon Award”. Mengapa Sadra, karena karyanya telah mewarnai kehidupan musik kontemporer Indonesia.

B. Paradigma


Paradigma penciptaan adalah bagian dari disiplin epistemologi seni, mengandung unsur-unsur yang dipikirkan oleh setiap seniman pencipta. Unsur-unsur itu sekurang-kurangnya adalah (1) keyakinan dasar, (2) model, (3) konsep, dan (4) metode[1].
Keyakinan dasar adalah pandangan-pandangan yang sifatnya pribadi, subjektif, yang boleh jadi lahir dari pandangan-pandangan filosofis, teori-teori, atau renungan mendalam terhadap pengalaman-pengalaman empiris. Tidak mungkin ada karya seni yang lahir tanpa keyakinan dasar dari seniman penciptanya. Keyakinan dasar itu dapat berupa keyakinan mengenai (1) sumber, (2) sarana, (3) tatacara penciptaan, dan (4) syarat syahnya pilihan artistik. Model adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi pembentukan ide, konsep, proses, dan sistem artistik karya seni, dan masih ada dalam angan-angan seniman pencipta. Model dapat berupa sesuatu yang bersifat empiris atau abstrak yang nantinya dicopy, disalin, ditiru, diturunkan dan digunakan dalam pembentukan ide, konsep, proses, dan sistem artistik karya seni.
Konsep adalah gagasan abstrak terkait sesuatu yang harus didefinisikan atau diformulasikan dalam bentuk karya. Konsep memiliki kemiripan makna dengan konstruk yang abstrak. Hakikat karya adalah konsep atau konstruk yang diformulasikan dan/atau didefinisikan secara empiris. Metode adalah cara-cara terkait bagaimana memahami objek material dan membingkainya dengan perspektif keyakinan, model, dan konsep yang berkembang di alam gagasan seniman. Objek material yang telah terbingkai oleh objek formal itu, kemudian ditarik ke dalam nalar atau gagasan seniman, diwujudkan menjadi format artistik yang empiris yaitu karya seni. Metode adalah tata cara mewujudkan objek dan gagasan seniman menjadi wujud karya.

1. Keyakinan Dasar
Dalam penciptaan musik kontemporer, Sadra menyatakan “bunyi atau suara adalah essensi musikal” (2005: 80). Ungkapan Sadra itu adalah keyakinan dasar penciptaannya. Keyakinan dasar ini dibawa Sadra untuk menciptakan berbagai karya, dan ia lakukan semenjak ia pertama kali meniti karir sebagai komponis pada Pekan Kompois Muda tahun 1981. Memang, ada beberapa bukti bahwa I Wayan Sadra pernah berkarya menyimpang dari keyakinan dasar itu. Namun kenyataannya, semenjak ia meyakini “bunyi atau suara adalah essensi musikal”, tidak sedikit karya-karyanya yang selalu menempatkan bunyi-bunyi natural, bunyi alamiah sebagai objek dan sumber penciptaan. Keyakinan dasar ini akhirnya menghasilkan beberapa karya dengan tipikalitas bentuk ekspresi musikal yang unik di tengah-tengah konstelasi peciptaan karya seni lainnya.

2. Model        
Seniman berkarya tidak cukup berbekal keyakinan dasar semata. Ia memerlukan model yang lahir dari keyakinan dasar itu. Berbekal keyakinan dasar, Sadra mengembangkan nalar kreatif, berusaha menemukan model. Dari model itu ia rumuskan konsep yang beranak pinak menjadi beberapa karya. Dari keyakinan dasar yang sama, Sadra dapat menghasilkan beberapa karya yang berbeda-beda. Karya yang berbeda-beda itu pun dibuat dengan metode yang berbeda-beda.
Salah satu model, acuan penciptaan karya Sadra adalah “gong sèrèt[2]. “Gong sèrèt” sebagai model hanya berkembang di dalam pikiran Sadra. “Gong sèrèt” adalah gong yang di-sèrèt. Gong, salah satu instrumen gamelan, wujud phisiknya berupa bentangan logam perunggu besar-bundar yang di tengahnya diberi pêncu. Secara tradisional, dalam memainkan biasanya digantung untuk menghasilkan efek vibrasi yang memiliki kesan rasa yang sèlèh, berat, dan medalam. Cara menabuhnya menggunakan tabuh êmpuk. Dianjurkan pelan agar menimbulkan suara gelegar yang mengalun lembut. Suara gelegarnya menghasilkan dan menimbulkan “daya”, sehingga dalam konstelasi musikal, gong diberi tugas menentukan aksentuasi terminal kepuasan rasa dari seluruh perjalanan komposisi musik.
Dalam konstelasi kultural, masyarakat di Indonesia memandang gong sebagai substansi berdaya magi. Gong adalah substansi mistis. Dalam kelaziman kultural, gong adalah mitos yang mengandung makna ketegangan antara manusia dan daya alam yang menerobos subjektivitas manusia. Dalam konstelasi mitos, gong adalah simbol, lambang kemegahan dan kedigdayaan sekaligus ketidakberdayaan. Gong adalah simbol orientasi besar dan ketidakberdayaan subordinatif. Gong adalah alat bagi manusia untuk menghayati daya-daya kekuatan alam yang mempengaruhi dan menguasai hidupnya.
Instrumen gong dengan karakteristik phisikal, dan perannya dalam konstelasi musikal maupun kultural adalah kelaziman yang telah menjadi budaya. Tetapi, gong dalam kelaziman budaya, secara konotatif tidak mencerminkan keluasan dan ketepatan kebenaran yang diyakini Sadra. Artinya, gong dalam kelaziman budaya bukanlah “esensi musikal bunyi atau suara”. Sebab, gong dalam kelaziman budaya adalah artificial dan tidak natural, sehingga bagi Sadra gong dalam kelaziman budaya bukan esensial. Nalar kreatif Sadra berusaha menemukan esensi musikal dari gong yang tidak ia temukan pada bunyi gong dalam kelaziman budaya.
Bagi Sadra, agar dapat menemukan esensi musikal dari bunyi gong, akan sia-sia jika mencarinya di balik kelaziman budaya. Oleh karena itu, ia harus menemukan di tengah keluasan alternatif alamiah. Dari perjalanan berfikirnya, Sadra menemukan esensi bunyi gong ketika gong di-sèrèt, plus perlakuan lain terhadap gong yang tidak kultural. Ia menjadi sangat yakin bahwa essensi bunyi ada pada gong yang tidak kultural itu.

3. Konsep
Dari esensi bunyi yang ia temukan pada gong ketika di-sèrèt sebagai model, dalam proses berfikir selanjutnya ia temukan konsep. Konsep yang diturunkan Sadra dari model dan keyakinan dasar yang ia yakini adalah “demitosisasi”[3]. Sebagaimana konsep pada umumnya, selalu memiliki referensi empiris, sebab memang tidak ada konsep tanpa referensi empiris. Persoalannya, apakah wujud referensi empiris dari konsep “demitosisasi” yang digagas Sadra?
Mitos adalah kisah, berisi pemikiran, dan berpengaruh terhadap eksistensi kebudayaan. Mitos adalah pandangan hidup, terkait dengan intuisi dan imaji religius. Namun, mitos tidak mutlak religius, melainkan dapat dipertalikan dengan penyajian atau gambaran-gambaran religius. Karena itu mitos adalah sejarah pemikiran[4] intuitif dan imajiner mengenai hakikat dan gejala-gejala. Menurut Bagus, ada dua macam mitos, yaitu (1) mitos natural, akibat pandangan naif mengenai alam dan (2) mitos kultural yang muncul setelah terjadi refleksi atas evolusi kebudayaan (Bagus, 2005: 662). Referensi empirik dari konsep “demitosisasi” adalah kategori-kategori wujud sistem musikal yang tidak pro dengan eksistensi budaya masa lalu. Ia tidak lagi peduli dengan tradisi penggarapan gong yang menghidupi kasanah budaya musik karawitan tradisional. Ia harus menciptakan garapan sendiri.

4. Metode
Setelah memiliki keyakinan dasar dan model yang kokoh, kemudian Sadra melahirkan konsep. Di dalam konsep itu dapat dipahami bahwa ia tidak peduli dengan tradisi penggarapan gong yang hidup dan menghidupi kasanah budaya musik karawitan tradisional. Sebab, baginya semua itu berbau mitos, maka ia perlu melakukan langkah “demitosisasi”. Sadra berusaha mewujudkan keyakinan, model, dan kosep yang diyakini itu. Persoalannya, bagaimana ia mewujudkan segala hal yang ia yakini, yang ia gagas lewat proses pemikiran yang tidak sederhana itu? Sadra memerlukan metode. Persoalan metode penciptaan adalah persoalan yang tidak sederhana, karena penjelasan mengenai metode penciptaan merupakan penjelasan yang paling rumit dari seluruh proses paradigma penciptaan.
Mengapa tidak sederhana, dan begitu rumit? Jawabnya, untuk mewujudkan konsep yang diturunkan dari keyakinan dasar dan model yang mendasarinya, seniman pencipta harus melakukan penafsiran terhadap objek meterialnya.[5] Objek itu kemudian dibingkai dengan objek formal atau perspektif sebagai paradigma yang diyakini. Di dalam proses membingkai dengan perspektif atau paradigma itu juga dilakukan dengan melakukan penafsiran pula. Semua tahap itu bekerja ditingkat imaginasi, intuisi, dan nalar yang abstrak. Penafsiran itu berkerja di dalam aras yang tidak kasat indera, abstrak dan masih berupa ide-ide belaka. Setelah tahap itu, seniman mewujudkannya menjadi formulasi artistik, yang bersifat empiris. Metode untuk mewujudkan ide atau konsep yang abstrak menjadi formulasi artistik, yang bersifat empiris itu memerlukan penafsiran terhadap banyak hal, terutama penafsiran untuk (1) pemilihan medium, (2) penafsiran pemilihan vokabuler, dan (3) penafsiran garap atau tata kelola hubungan antara medium dan vokabuler.
Kerja penafsiran adalah kerja hermeneutik. Kerja hermeneutik adalah landasan filsafat bagi karya seni yang dicipta. Jadi, secara metodologis kerja seniman dalam mewujudkan gagasan menjadi karya adalah kerja hermeneutik. Oleh karena itu, seorang seniman dalam berkarya pada dasarnya adalah menjadi seorang hermeneut.

C. Pertimbangan Etika
Sebagai seniman, orientasi utama Sadra adalah nilai. Nilai adalah pandangan atau keyakinan tentang sesuatu yang baik, indah, dan benar yang diharapkan terjadi. Sadra, dalam berkarya tentu tidak lepas dari upaya-upaya itu. Tetapi, atas dasar apa Sadra meyakini tindakan kreatifnya dalam berkarya sebagai tindakan kreatif yang baik dan benar? Siapa yang menentukan tindakan itu baik dan benar?
Karena nilai terkait dengan pilihan pemikiran, aktivitas atau tindakan pribadi, maka keyakinan tentang sesuatu yang baik dan benar itu ditentukan sendiri oleh Sadra sebagai seniman. Persoalan rumit dan penting untuk diungkap adalah pertanyaan; atas dasar apa Sadra meyakini tindakan kreatif dalam penciptaan karyanya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Secara simplistis, dan agak kersifat common-sense, jawab pertanyaan itu sudah dapat dipahami. Sebab, seniman berkarya berangkat dari pengalaman yang ditangkap oleh pemikiran kritis. Jadi, jawabnya adalah berdasarkan pemikiran kritis yang mendasari pemilihan (1) medium, (2) sarana, dan (3) tatacara penciptaan. Pilihan atas ketiga hal itu ditentukan oleh pilihan paradigma seniman, yaitu pilihan terhadap (1) keyakinan dasar artistik, model, konsep, dan metode penciptaan. Persoalannya, bagaimana Sadra meretas paradigma yang dihasilkan oleh pemikiran kritis itu?

1. Meretas Keyakinan Dasar
Bagi Sadra, karya seni yang baik adalah karya yang tercipta berdasarkan pemahaman secara baik atas realitas objek bagi karyanya. Pemahaman yang baik terhadap realitas objek hanya dapat dicapai jika seniman mampu menemukan “kebenaran” di balik objeknya. Kebenaran realitas di balik objek tentu bukan realitas inderawi, sebab realitas inderawi hanyalah cerminan realitas yang sebenarnya. Realitas inderawi hanyalah medium materi dari kebenaran yang tertuang dan eksist di dalam medium materi. Realitas kebenaran yang sebenarnya adalah essensi. Sedangkan medium materi hanyalah aksidensi.
Esensi, atau realitas kebenaran yang sebenarnya bersifat rohani atau idea. Menurut Magnis-Suseno (1997: 16), idea itu abadi, tidak berubah dan sempurna adanya. Oleh karena itu, jika seniman hendak memahami realitas suatu objek, maka ia harus mengatasi dunia materi, dunia medium yang menjadi wadah esensi. Untuk dapat mengatasi dunia materi, ia harus melakukan abstraksi agar mampu menangkap idea atau esensi suatu objek. Abstraksi adalah analisis pada tingkat metafisis dan ontologis dengan jalan menyingkirkan segala macam aksidensi. Sedangkan aksidensi adalah kategori-kategori yang melekat pada esensi, seperti kuantitas, kualitas, aktivitas, pasifitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, dan kedudukan. Dalam perjalanan berfikirnya yang panjang, dan dalam melakukan abstraksi, akhirnya Sadra menemukan esensi yang ia yakini kebenarannya, yaitu “bunyi atau suara adalah essensi musikal”. Di tahap ini, Sadra belum menghadapi problem etika, belum menemukan problem orientasi. Sebab, pemahaman akan esensi ini adalah berupa keyakinan yang sifatnya sangat pribadi. Problem etika ia hadapi ketika ia menemukan model sebagai manifestasi dari keyakinanya terhadap objek yang ia pahami, dan bagaimana mewujudkannya.

2. Perlawanan           
Telah dijelaskan di atas bahwa dengan bekal keyakinan dasar, Sadra mengembangkan nalar kreatif, menemukan model, yaitu “gong sèrèt”. Bila model yang ia gagas itu dilaksanakan, berarti secara diametral ia mengembangkan etika peciptaan yang berseberangan dengan kelaziman budaya. Padahal, kelaziman budaya secara emosional telah menjadi etika atau orientasi bagi masyarakat dan seniman tradisional. Di masyarakat, gong dipahami dan diyakini sebagai substansi yang memiliki daya magi dan mistis. Maka, gong adalah substansi yang berfungsi sebagai medium untuk melakukan pendekatan spiritual non-diskursif. Pendekatan spiritual ini adalah upaya penyatuan jiwa dengan semesta atau dengan segala macam yang dipandang sebagai episentrum realitas alam raya. Karena gong adalah medium untuk melakukan pendekatan spiritual, maka memperlakukan gong dengan cara yang tidak sesuai dengan kelaziman budaya, berarti melawan kebudayaan itu sendiri.
Sadra meyakini bahwa gong dalam kelaziman budaya, secara konotatif tidak sepenuhnya mencerminkan keluasan dan ketepatan kebenaran musikal. Oleh karena itu, Sadra harus mencari kebenaran musikal pada gong dengan cara menemukan di tengah keluasan alternatif alamiah. Sadra harus melakukan eksplorasi-eksplorasi empiris dan teknis yang tentu saja tidak kultural. Jadi, model yang diturunkan dari “keyakinan dasar” sebagai basisnya, melahirkan orientasi atau etika penciptaan yang mendorong seniman pencipta -- dalam hal ini Sadra -- untuk melakukan perlawanan terhadap kebudayaan. Dikatakan perlawanan terhadap kebudayaan, sebab, model yang digagas Sadra adalah model provokatif -- yang disadari oleh Sadra atau tidak -- dapat mendegradasi peran sosial-religius gong dengan jalan mendekonstruksi peran musikal dan perlakuan phisik terhadap gong sebagai sarana ekspresi seni. Di dalam model yang digagas Sadra, gong tidak lagi harus digantung, tidak pula harus menghasilkan efek vibrasi yang memiliki kesan rasa yang sèlèh, berat, dan medalam. Tidak harus ditabuh dengan menggunakan tabuh êmpuk. Tidak pula harus menimbulkan suara gelegar yang mengalun lembut yang menimbulkan “daya”, yang menentukan aksentuasi terminal kepuasan rasa dari seluruh perjalanan komposisi musik.
Secara radikal, Sadra berusaha mencari kebenaran esensial dengan menghindar dari segala macam bentuk dan kategori yang berada dalam bingkai kelaziman budaya. Mengapa dikatakan radikal, karena Sadra meyakini suatu konsep, yang jika dilihat dari kandungan ekspresinya merupakan ekspresi performatif yang berisi makna referensial dan kognitif menolak, mengingkari, menurunkan, memerosotkan dan seterusnya. Kita masih ingat, konsep yang diturunkan Sadra dari model dan keyakinan dasar yang ia yakini adalah “demitosisasi”. Demitosisasi adalah penolakan terhadap terhadap perlakuan gong yang masih mempertimbangkan kerangka pikir mitos. Dengan melakukan penolakan seperti itu, maka ekspresi performatif mengingkari, menurunkan dan memerosotkan kedudukan gong dari posisi kulturalnya sebagai simbol dari suatu pandangan hidup, terkait dengan intuisi dan imaji religius. Jadi, etika perlawanan adalah etika yang mendegradasi peran gong dari pertaliannya dengan penyajian atau gambaran-gambaran religius.
Melalui penolakan terhadap mitos, Sadra membangun perspektif dalam berkarya. Perspektif penciptaan Sadra adalah untuk menghasilkan ekspresi musikal yang personal. Ekspresi itu tidak dapat dikaitkan dan diinterpretasi nilai-nilainya dengan prinsip-prinsip komunal. Memang, fakta-fakta artistik berikut nilai-nilai personal tidak dapat dilepas begitu saja kelahirannya dengan prinsip-prinsip yang pernah berkembang secara komunal. Tetapi, hubungan komunalitas dan personalitas itu adalah hubungan yang sifatnya diakronis semata. Bukan hubungan sinkronis, yang secara terus menerus beriringan secara lekat dan kolektif. Sebab, keyakinan adalah milik personal bukan milik komunal. Keyakinan yang bersifat komunal adalah hasil dari interaksi sosial. Jika suatu keyakinan dipahami eksistensi ontologisnya dikurangi interaksi sosial sebagai salah satu kategori yang ikut melekat pada keyakinan itu, maka keyakinan adalah sepenuhnya personal. Oleh karena itu, etika kreativitas Sadra yang merupakan etika perlawanan adalah benar-benar etika personal, dan sama sekali bukan etika komunal. Oleh karena itu, menilai etika karya Sadra dari perspektif komunal adalah suatu langkah yang keliru.

3. Kenikmatan
Bagaimanakah menciptakan karya seni yang baik? Ini adalah pertanyaan dasar bagi setiap seniman. Mungkin, pertanyaan itu dapat dikatakan sebagai pertanyaan dasar pengembangan “model” bagi etika kesenimanan. Berkarya yang baik, dalam konteks ini adalah menciptakan karya yang bermutu, terasa nuansa intelektualnya, terasa basis filosofisnya, terasa menyampaikan pemikiran nilai yang genuine, dan terasa tidak asal ikut-ikutan, anut grubyuk, serta mencapai kualitas maksimum yang dapat direalisasikan. Persoalannya adalah, bagaimana Sadra dalam pengembangan etika kesenimanan memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Berdasarkan keyakinan dasar, model dan konsep yang diturunkan seperti diterangkan di atas, diam-diam Sadra mengembangkan etika kesenimanan yang bersifat metafisis. Dikatakan metafisis karena etika yang dikembangkan merupakan orientasi yang berada dalam wilayah hakikat filsafat penciptaan seni. Etika yang dikembangkan adalah orientasi penciptaan seni yang berkenaan dengan dasar (prinsip, alasan, sumber, dan sebab) eksistensi karya yang transenden. Dikatakan bersifat metafisis karena etika yang dikembangkan berorientasi kepada asumsi atau keyakinan dasar yang menjadi basis untuk mengembangkan sistem artistik dari karya seni yang dicipta. Jadi, etika Sadra dalam berkarya sedikit banyak mengarah kepada pembentukan sistem ide, yang memberi suatu perspektif nilai terhadap hakikat realitas karya seni yang dihasilkan. Atau, mengarah kepada pembentukan system ide yang memberi alasan mengapa karya seni memiliki wujud dan konstruksi artistik sedemikian rupa.
Dalam etika yang bersifat metafisis itu, dengan gamblang Sadra secara implicit menegaskan bahwa seniman dalam menentukan sikap dalam setiap penciptaan karya seni harus merdeka, bebas dari mitos-mitos yang mewarnai takhayul kebudayaan. Seniman dalam berkarya tidak boleh terkungkung dalam ketakutan terhadap kematian kebudayaan masa lalu. Sebab hidup dan mati adalah keniscayaan dalam setiap jengkal sejarah kehidupan. Tetapi sebaliknya, seniman harus memiliki sikap percaya diri, optimis untuk mencari kebaikan dan kebenaran artistik yang tidak saja rasional tetapi juga imajiner. Kebaikan dan kebenaran artistik yang rasional dan imajiner itu adalah inti etika peciptaan Sadra dalam berkarya akhir-akhir ini. Ia mengutamakan deeply enjoyable proses penghayatan artistik. Baginya, deeply enjoyable itu adalah eksplorasi, invensi bentuk dan teknik-teknik artistik demi aplikasi dan praxis inovasi.
Kebaikan dan kebenaran itu tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang semata-mata berdasar akal, tetapi lebih bersifat imaginasi, yang tidak terkungkung bentuk-bentuk lahiriah yang bersifat jasmani. Ini berarti, kebaikan dan kebenaran seni bukan semata-mata  buah dari gagasan-gagasan seniman yang secara niscaya digunakan dalam kegiatan praktis. Bukan pula buah suatu kepercayaan umum terhadap pengertian dan pengetahuan tertentu yang mengatasi argumentasi, yang secara langsung diamati dan tidak diperlukan bukti-bukti pendukungnya. Namun sebaliknya, kebaikan dan kebenaran seni adalah kebaikan dan kebenaran kontemplatif dan imajiner. Memahaminya harus melalui penalaran, pemikiran, perenungan dan imajinasi untuk mencapai suatu pengetahuan tentang hakikat persoalan dan kesan-kesan maupun konsep-konsep mental yang sesungguhnya tidak ada bagi indera. Sebab, imajinasi merupakan kemampuan untuk menghubungkan dan menggabungkan secara bebas representasi dan ide.
Kebaikan dan kebenaran jenis ini adalah sesuatu yang mampu melahirkan kenikmatan artistik. Tentu, tidak sembarang kenikmatan di tingkat eksploratif, ekspresi, dan teknis harus dipenuhi. Sebab, jika di-umbar kebebasan dalam mencapai kenikmatan akan berpotensi untuk terjadi benturan perkiraan atau pandangan tentang nilai. Terutama nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang di tengah publik yang ragamnya tidak terhingga.
Hal ini terjadi karena kenikmatan artistik mencakup (1) kenikmatan perseptif-intuitif dan (2) kenikmatan perseptif-inderawi. Kenikmatan perseptif-intuitif adalah suatu keadaan emosional yang timbul karena adanya proses persepsi terhadap gejala yang ditangkap sebagai pengetahuan atau insight (pemahaman) yang bersifat bawaan, naluriah, dan tanpa menggunakan indera. Jadi kenikmatan perseptif-intuitif adalah suatu kenikmatan yang terjadi akibat pemahaman terhadap suatu gejala, dengan pangkal pemahaman pada konsep ide-bawaan yang dipahami sebagai kecenderungan. Sedangkan kenikmatan perseptif-inderawi adalah suatu keadaan emosional yang timbul karena adanya proses persepsi terhadap gejala yang ditangkap sebagai pengetahuan yang dicerap melalui penginderaan pribadi, segera, dan yang diberikan secara langsung. Kedua tipe kenikmatan itu dapat secara tak terbatas menyentuh minat dan kepentingan yang menyentuh wilayah-wilayah dikotomis seperti objektif dan subjektif, absolute atau relatif, esensialistik atau eksistensialistik, dan dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, mencapai kenikmatan harus benar-benar selektif, jangan sampai eksplorasi, ekspresi, dan teknis artistic menimbulkan benturan nilai yang pada akhirnya malah menjdi kurang produktif.

D. Kebenaran dan Kebaikan
Kebenaran eksist dalam wadah ekspresi yang benar[6], dan menampakkan diri dalam bentuk kesadaran yang terjadi dalam diri penerima atau masyarakat penerima ekspresi sebagai wadahnya. Namun, di sisi lain, kebenaran juga eksist dalam wadah ekspresi yang benar,  sebagai manifestasi kesadaran dan prinsip[7] individu-individu yang berekspresi. Jadi, ada dua bentuk kesadaran mengenai kebenaran yaitu kesadaran kebenaran oleh individu-individu pemilik ekspresi dan oleh individu maupun masyarakat penerima ekspresi. Sering sekali terjadi, kesadaran kebenaran individu pemilik ekspresi berbeda atau bahkan berseberangan dengan kesadaran kebenaran individu penerima ekspresi. Dalam konteks seperti itu, problem etika menampakkan diri.
Kebenaran pun juga ada tiga macam, yaitu (1) kebenaran logis, (2) kebenaran metafisis, dan (3) kebenaran moral (Wahyudi, 2004: 254). Kebenaran logis merupakan konsentrasi bidang epistemologi, logika, dan psikologi. Wujud hakikatnya adalah hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif yang dinyatakan oleh pernyataan itu. Kebenaran metafisis adalah kebenaran mengenai sesuatu yang “dapat dianggap” ada, yang berhadapan dan mengungkapkan diri ke hadapan akal-budi. Sesuatu yang “dapat dianggap” ada itu adalah dasar dari kebenaran, dan akal budi adalah substansi yang menyatakannya. Adapun kebenaran moral adalah kebenaran yang terkait dengan hubungan antara ekspresi yang dinyatakan dengan rasa penerima ekspresi sebagai kontinum dari ekspresi yang diterima.
Secara simultan, karya seni eksist melibatkan tiga kebenaran itu. Kebenaran logis tampak pada aras penerapan unsur-unsur teknis ekspresi yang berupa hubungan antar unsur vokabuler, medium, dan garap (baca: tata kelola hubungan antara vokabuler dan medium) sehingga membentuk sistem ekspresi yang dapat diterapkan secara empiris. Sedangkan kebenaran metafisis dan moral tampak pada aras yang bersifat abstrak, yang dapat ditemukan dan “dibaca” dari dalam wujud dan bentuk ekspresi, berupa kandungan maksud, makna dan isi nilai karya seni. Kebenaran metafisis dan kebenaran moral adalah dua substansi yang ada dan berada dalam wujud yang satu. Artinya, kebenaran metafisis dan kebenaran moral adalah sama-sama kebenaran konseptual sebagai sesuatu yang ada dan berada di dalam wujud-wujud fisi-empiris. Bedanya, kebenaran metafisis memiliki cakupan luas yang tak terbatas, sedangkan kebenaran moral semata-mata terkait dengan keinsafan dan konsistensi penerapan kaidah-kaidah kebajikan, keadilan, dan kepantasan dalam perilaku kehidupan.
Ketiga macam kebenaran itu, pada hakikatnya memiliki kandungan kategori kebaikan dan keindahan (Gazalba, 1978: 468-497). Oleh karena itu, kebenaran dalam karya seni adalah indikasi kebaikan da keindahan karya seni. Harus diakui, memahami aspek pencarian dan pengambilan keputusan “kebenaran” oleh seniman adalah persoalan paling rumit. Seringkali, para seniman sendiri pun tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Tidak ketinggalan pula Sadra.

E. Komentar dan Kesimpulan
Etika seni, fenomena epistemologis sebagai orientasi berkarya para seniman adalah hal penting. Memang, secara faktual pemikiran seniman seperti itu belum banyak mendapat perhatian para ahli seni, ahli filsafat, maupun para seniman itu sendiri. Pemikiran mengenai pengembangan paradigma penciptaan belum menjadi konsern para seniman. Oleh karena itu, patut disarankan kepada para seniman akademik untuk memulai proses penciptaan dibarengi dengan kesadaran pengembangan paradigma. Sebab, ini adalah hakikat dan harga yang membedakan antara seniman akademik dan seniman non-akademik.
Di tengah kekeringan pemikiran paradigma penciptaan, Sadra telah berusaha membangun dan mengutarakan paradigma penciptaannya. Meskipun harus diakui, pemikiran Sadra masih tertatih-tatih. Cukup menggembirakan bahwa paparan mengenai paradigma di atas adalah sekelumit fakta yang dapat dikembangkan. Tampak bahwa paradigma dan etika yang mempengaruhi gerak-gerik Sadra adalah paham yang menjunjung tinggi kebebasan. Etika Sadra adalah etika yang didasari oleh sikap pendobrakan terhadap dimensi-dimensi mainstream yang telah berkembang berdasar rasionalitasnya sendiri secara tradisional. Dari bukti-bukti pertimbangan yang dipaparkan di atas, cukup memberi alasan untuk menilai paradigma Sadra sebagai etika liberal. Etika liberal adalah etika yang berkembang dari ide-ide liberalisme (Siswanto, 2004: 262). Etika ini berkenaan dengan dikuasainya “dunia” oleh hukum yang mengandung prinsip-prinsip universal. Jadi, dalam berkarya, Sadra adalah seorang liberalis.

F. Daftar Pustaka
Ahimsa Putra, H.S. 2007. “Etnosains untuk Koreologi Nusantara: Antropologi dan Khasanah Tari Nusantara”, makalah dipresentasikan dalam Simposium Etnokoreologi Nusantara dalam program kegiatan Pengembangan Ilmu Budaya, diselenggarakan oleh ISI Surakarta, 31 Desember 2007.
Bagus, L. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bhaskara, U.W.W. 2005. “Aktualisasi Diri I Wayan Sadra”. Skripsi Sarjana Program Studi Psikologi Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Gazalba, S. 1978. Sistematika Filsafat. Cetakan ke-2. Jakarta: Bulan Bintang.
Kattsoff, L.O. 1987. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Magnis-Suseno, F. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogjakarta: Kanisius.
Muslih, M. 2006. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Belukar.
Sadra, I.W. 2005. “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik” dalam Minimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta: Jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program Pendidikan Pascasarjana STSI Surakarta.
Salad, H. 2000. Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Siswanto, D. 2004. “Konvergensi Atara Liberalisme dan Kolektivisme sebagai Dasar Etika Politik di Indonesia” dalam Jurnal Filsafat, 38/3 (Edisi Desember), diterbitkan oleh Yayasan Pembina Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Sutrisno, M. SJ. 1999. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Titus, H.H. (et.all). 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. HM. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Wahyudi, I. 2004. “Refleksi tentang Kebenaran Ilmu” dalam Jurnal Filsafat 38/3 diterbitkan oleh Yayasan Pembina Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.



[1] Ini merupakan adaptasi pemikiran mengenai paradigma keilmuan menurut Ahimsa-Putra, yang diungkapkan pada kuliah antropologi seni dan berbagai seminar. Paradigma yang dimaksudkan Ahimsa-Putra adalah kerangka pemikiran yang biasa digunakan para ilmuwan peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Dalam sebuah makalah, Ahimsa-Putra (2007) memaparkan bahwa unsur-unsur paradigma meliputi (1) asumsi dasar, (2) model, (3) konsep, (4) metode penelitian, (5) metode analisis, dan (6) hasil analisis.
[2] Kata ini awalnya adalah representasi model yang ada dalam pikiran Sadra. Di tahun 1994, kata “gong sèrèt” digunakan Sadra untuk memberi judul, menengarai sebuah karya yang ia ciptakan. Tentu, karya yang berjudul “gong sèrèt” itu adalah karya yang lahir dari asumsi dasar “bunyi atau suara adalah essensi musikal” dengan model “gong sèrèt”.

[3] Pernah, selain konsep “demitosisasi” suatu saat di tahun 1990-an Sadra juga mengungkapkan konsep “dekonstruksi”. Tetapi konsep dengan ungkapan “dekonstruksi” itu tidak pernah terdengar lagi. Kemudian muncul istilah “demitosisasi”, yang ia ungkapkan dalam sebuah wawancara dengan Umi Wulan, seorang mahasiswi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, pada 10 Juni 2004.
[4] Terutama adalah pemikiran yang tidak ilmiah.
[5] Objek material boleh jadi empiris atau abstrak, atau mungkin gabungan dari keduanya.
[6] Ekspresi atau ungkapan yang benar dapat ditemukan dalam hukum, teori, rumus, dalil dan kenyataan yang dikenal dan yang diekspresikan sesuai dengan isi dan substansi hukum, teori, rumus, dalil dan kenyataan.
[7] Prinsip adalah ungkapan yang dipandang oleh pemegangnya sebagai keniscayaan, keharusan, atau bahkan sebagai hukum berbagai fenomen.